TEORI GREEN THOUGHT - RIRI ROSNIDA (20132300121)
Perkembangan perspektif Green Thought mulai menjadi kajian fokus disiplin HI ketika Revolusi Industri pada abad XIX, dimana muncul para pemerhati lingkungan terhadap lingkungan
penduduk perkotaan dan semakin
berkembang seiring pencapaian teknologi pada abad XX. Pada abad XIX lah muncul
pengertian istilah ekologi, khususnya pada karya Ernst Haeckl. Karya nya sangat
penting sehingga mampu memberikan gambaran tentang ekosistem sebagai suatu yang
saling berkaitan dan mengenai alam sebagai sesuatu yang hidup. Dapat dikatakan bahwa asal usul Green Thought merupakan kritik terhadap proyek modernitas.
Tokoh-tokoh Green
Thought lainnya seperti Rene Descartes dalam pandangannya yakni Cartesian,
Rachel Carson dalam
karyanya yaitu Silent Spring (1962), yang dipublikasikan setelah
munculnya berbagai permasalahan lingkungan hidup sejak Revolusi Industri. Ketika lingkungan
hidup mulai dianggap sebagai sesuatu yang vital bagi keberlangsungan hidup
manusia namun eksploitasi besar-besaran pun masih terjadi diberbagai tempat
yang rata-rata masyarakat sekitarnya tidak terlalu memperdulikan seberapa besar
efek yang ditimbulkan akibat eksploitasi tersebut. Melalui buku dari Carson
ini, ia menekankan bagaimana kehidupan manusia harus selaras dengan alam bukan
malah menaklukannya.
Pada akhirnya diadakannya Konferensi PBB mengenai
Lingkungan Hidup Manusia (1970-an), di Stockholm adalah konferensi yang pertama
kali mencoba mengkaitkan pembangunan dan lingkungan hidup. Lebih lanjut,
pemikir liberal optimis bahwa aktor-aktor yang menyarankan rezim-rezim internasional
dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan win-win
solution akan permasalahan lingkungan global. Seperti halnya KTT UNCED di
Rio Janeiro, Brazil mengharapkan pihak pembuatan kebijakan dapat meninjau ulang
kerja sama nya dengan memasukkan kepentingan lingkungan negaranya. Tidak hanya
per negara saja, level hubungan pun dapat ditingkatnya ke multilateral.
Green Thought dalam aspek Ekonomi, Politik, dan Keamanan
UN Comtrade memaparkan bahwa total ekspor sawit dunia
pada tahun 2014 mencapai US$ 51.5 Milyar dengan Indonesia menyumbang sekitar
40/9 % (US$ 21 Milyar). Hal itu menunjukkan bahwa bahan baku ini strategis
untuk berbagai produk industri. Kementerian Pertanian RI mengatakan bahwa ada
sekitar 144 produk industri sawit, sedangkan RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) menyatakan bahwa 66.000 diantaranya
menggunakan produk sawit. Salah satu negara pengimpor palm oil Indonesia terbesar ialah Uni Eropa.
Hingga hambatan teknis ekspor palm oil datang dari UE dengan alasan masing-masing seperti:
Pada tahun 2014-2015 terdapat kampanye negatif atas isu-isu
perdagangan yang berpotensi menghambat akses pasar produk palm oil Indonesia di pasar UE yang bersifat massive, terstruktur, dan sistematis. Kampanye negatif yang
dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Indonesia tersebut terkait dengan reboisasi
lahan kelapa sawit dengan teknik membakar lahan, yang diduga pelakunya datang
dari oknum PT Langgam Inti Hibrida. Teknik pembakaran lahan tersebut dilakukan
5-10 tahun sekali bertepatan dengan masa tanam (source: bbc.com).
Mendengar
hal tersebut, budaya UE yang sangat concern
pada masalah lingkungan menyebarluaskan kampanye negatif. Tidak hanya
permasalahan pembakaran lahan ini, aspek-aspek lainnya yang mendukung kampanye negative
seperti contohnya di Frankfurt, Jerman memuat artikel dengan judul “Minyak
Sawit Sebagai Perusak Nomor Satu” (Edisi 12 Desember 2014) dan “Bisnis Kotor
Produsen Minyak Sawit” oleh Kathrin Hartmann (7 Maret 2015). (source:
Framework Tantangan Diplomasi Sawit Indonesia – Kementerian Perdagangan RI
Desember 2015).
Green Thought mengharapkan bagaimana
suatu sistem global dapat menciptakan rangkaian biokomunitas regional, sebuah
dunia masa depan yang ekologis akan membutuhkan perubahan mendasar terhadap planet
kita ini (Steans & Pettiford, 2009:411). Oleh karena itu dalam menghimbau
permasalahan lingkungan, dari aspek ekonomi baik impor maupun ekspor menerapkan
daya standar yang sangat ketat.
Dengan mengadopsi pemikiran Steans & Pettiford,
sebagai langkah berkelanjutan masyarakat Eropa dalam menjaga lingkungan maka
mempertimbangkan kembali proses ekspor sawit dari Indonesia. Hal ini membawa
dampak pada aspek politik, UE dalam Renewable
Energy Directive (RED) menetapkan ketentuan mewajibkan seluruh negara
anggotanya tahun 2020 untuk menggunakan 10% kebutuhan bahan bakar di sektor
transportasi dari energi hayati yang dapat diperbarui (renewable) dan berkelanjutan, serta mempunyai sedikitnya 35%
penghematan emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Aspek kebijakan
politik tersebut semata ditujukan demi keamanan lingkungan, tidak hanya
memprioritaskan keberlangsungan hidup manusia dan alam saja tetapi juga hewan. Salah
satu kampanye negatif oleh masyarakat UE yaitu tayangan di TV Phoenix (Frankfurt,
Jerman) yang berjudul “Bahan Hayati/Biofuel Musuh Mematikan Orangutan. Hal
tersebut sejalan dengan asumsi Steans & Pettiford (Steans & Pettiford,
2009:394) bahwa Green Thought
memiliki suatu etika terhadap keadilan dan moralitas sehingga memperluas konsep
yang juga melibatkan hewan-hewan (mengadopsi tema egalitarianisme dari filsafat
modern).
Argumen
Pendapat saya mengenai perspektif Green Thought ini sebagian besar setuju pada asumsi dasarnya
perihal masalah lingkungan. Disaat panggung global ”melulu” dalam hal
pengejaran power, pembangunan, atau
modernisasi, Green Thought hadir
menawarkan perspektif berbeda yang isunya jauh lebih penting dan krusial dibanding
semua itu, serta pada hakikatnya masalah lingkungan dan alam kerusakannya tidak
sebanding dengan penanganan krisis ekonomi di suatu negara atau kawasan.
Dalam kasus kampanye UE terhadap palm oil Indonesia ini sebagai wujud adanya kesinambungan antara
para penganut liberalisme dengan Green Thought,
dimana dengan adanya lembaga supranasional sebagai wakil dari ke-28 anggotanya berasumsi
adanya hasil win-win solution perihal
mencegah kerusakan lingkungan secara bersama-sama UE bersama-sama mengkritisi
ekspor sawit Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi, politik, dan
lingkungan.
Referensi:
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. (2009).
Hubungan Internasional: Perspektif dan
Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar