TEORI GREEN THOUGHT - RIRI ROSNIDA (20132300121)

20.06.00 0 Comments

Perkembangan perspektif Green Thought mulai menjadi kajian fokus disiplin HI ketika Revolusi  Industri pada abad XIX, dimana muncul para pemerhati lingkungan terhadap lingkungan penduduk perkotaan dan semakin berkembang seiring pencapaian teknologi pada abad XX. Pada abad XIX lah muncul pengertian istilah ekologi, khususnya pada karya Ernst Haeckl. Karya nya sangat penting sehingga mampu memberikan gambaran tentang ekosistem sebagai suatu yang saling berkaitan dan mengenai alam sebagai sesuatu yang hidup. Dapat dikatakan bahwa asal usul Green Thought merupakan kritik terhadap proyek modernitas.

Tokoh-tokoh Green Thought lainnya seperti Rene Descartes dalam pandangannya yakni Cartesian, Rachel Carson dalam karyanya yaitu Silent Spring (1962), yang dipublikasikan setelah munculnya berbagai permasalahan lingkungan hidup sejak Revolusi Industri. Ketika lingkungan hidup mulai dianggap sebagai sesuatu yang vital bagi keberlangsungan hidup manusia namun eksploitasi besar-besaran pun masih terjadi diberbagai tempat yang rata-rata masyarakat sekitarnya tidak terlalu memperdulikan seberapa besar efek yang ditimbulkan akibat eksploitasi tersebut. Melalui buku dari Carson ini, ia menekankan bagaimana kehidupan manusia harus selaras dengan alam bukan malah menaklukannya.

Pada akhirnya diadakannya Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (1970-an), di Stockholm adalah konferensi yang pertama kali mencoba mengkaitkan pembangunan dan lingkungan hidup. Lebih lanjut, pemikir liberal optimis bahwa aktor-aktor yang menyarankan rezim-rezim internasional dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan win-win solution akan permasalahan lingkungan global. Seperti halnya KTT UNCED di Rio Janeiro, Brazil mengharapkan pihak pembuatan kebijakan dapat meninjau ulang kerja sama nya dengan memasukkan kepentingan lingkungan negaranya. Tidak hanya per negara saja, level hubungan pun dapat ditingkatnya ke multilateral.

Green Thought dalam aspek Ekonomi, Politik, dan Keamanan
UN Comtrade memaparkan bahwa total ekspor sawit dunia pada tahun 2014 mencapai US$ 51.5 Milyar dengan Indonesia menyumbang sekitar 40/9 % (US$ 21 Milyar). Hal itu menunjukkan bahwa bahan baku ini strategis untuk berbagai produk industri. Kementerian Pertanian RI mengatakan bahwa ada sekitar 144 produk industri sawit, sedangkan RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) menyatakan bahwa 66.000 diantaranya menggunakan produk sawit. Salah satu negara pengimpor palm oil Indonesia terbesar ialah Uni Eropa.

Hingga hambatan teknis ekspor palm oil datang dari UE dengan alasan masing-masing seperti:
Pada tahun 2014-2015 terdapat kampanye negatif atas isu-isu perdagangan yang berpotensi menghambat akses pasar produk palm oil Indonesia di pasar UE yang bersifat massive, terstruktur, dan sistematis. Kampanye negatif yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Indonesia tersebut terkait dengan reboisasi lahan kelapa sawit dengan teknik membakar lahan, yang diduga pelakunya datang dari oknum PT Langgam Inti Hibrida. Teknik pembakaran lahan tersebut dilakukan 5-10 tahun sekali bertepatan dengan masa tanam (source: bbc.com).

            Mendengar hal tersebut, budaya UE yang sangat concern pada masalah lingkungan menyebarluaskan kampanye negatif. Tidak hanya permasalahan pembakaran lahan ini, aspek-aspek lainnya yang mendukung kampanye negative seperti contohnya di Frankfurt, Jerman memuat artikel dengan judul “Minyak Sawit Sebagai Perusak Nomor Satu” (Edisi 12 Desember 2014) dan “Bisnis Kotor Produsen Minyak Sawit” oleh Kathrin Hartmann (7 Maret 2015).  (source: Framework Tantangan Diplomasi Sawit Indonesia – Kementerian Perdagangan RI Desember 2015).

            Green Thought mengharapkan bagaimana suatu sistem global dapat menciptakan rangkaian biokomunitas regional, sebuah dunia masa depan yang ekologis akan membutuhkan perubahan mendasar terhadap planet kita ini (Steans & Pettiford, 2009:411). Oleh karena itu dalam menghimbau permasalahan lingkungan, dari aspek ekonomi baik impor maupun ekspor menerapkan daya standar yang sangat ketat.

Dengan mengadopsi pemikiran Steans & Pettiford, sebagai langkah berkelanjutan masyarakat Eropa dalam menjaga lingkungan maka mempertimbangkan kembali proses ekspor sawit dari Indonesia. Hal ini membawa dampak pada aspek politik, UE dalam Renewable Energy Directive (RED) menetapkan ketentuan mewajibkan seluruh negara anggotanya tahun 2020 untuk menggunakan 10% kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi dari energi hayati yang dapat diperbarui (renewable) dan berkelanjutan, serta mempunyai sedikitnya 35% penghematan emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Aspek kebijakan politik tersebut semata ditujukan demi keamanan lingkungan, tidak hanya memprioritaskan keberlangsungan hidup manusia dan alam saja tetapi juga hewan. Salah satu kampanye negatif oleh masyarakat UE yaitu tayangan di TV Phoenix (Frankfurt, Jerman) yang berjudul “Bahan Hayati/Biofuel Musuh Mematikan Orangutan. Hal tersebut sejalan dengan asumsi Steans & Pettiford (Steans & Pettiford, 2009:394) bahwa Green Thought memiliki suatu etika terhadap keadilan dan moralitas sehingga memperluas konsep yang juga melibatkan hewan-hewan (mengadopsi tema egalitarianisme dari filsafat modern).

Argumen
Pendapat saya mengenai perspektif Green Thought ini sebagian besar setuju pada asumsi dasarnya perihal masalah lingkungan. Disaat panggung global ”melulu” dalam hal pengejaran power, pembangunan, atau modernisasi, Green Thought hadir menawarkan perspektif berbeda yang isunya jauh lebih penting dan krusial dibanding semua itu, serta pada hakikatnya masalah lingkungan dan alam kerusakannya tidak sebanding dengan penanganan krisis ekonomi di suatu negara atau kawasan.

Dalam kasus kampanye UE terhadap palm oil Indonesia ini sebagai wujud adanya kesinambungan antara para penganut liberalisme dengan Green Thought, dimana dengan adanya lembaga supranasional sebagai wakil dari ke-28 anggotanya berasumsi adanya hasil win-win solution perihal mencegah kerusakan lingkungan secara bersama-sama UE bersama-sama mengkritisi ekspor sawit Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi, politik, dan lingkungan.

Referensi:
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. (2009). Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google