TEORI POLITIK LINGKUNGAN (PERSPEKTIF GREEN THOUGHT) - LAURA SIENTI PUTRI (2013230003)
Selama
dua dekade terakhir, telah tumbuh kesadaran mengenai masalah-masalah kelangkaan
sumber daya, hujan asam, penipisan ozon, dan pemanasan global. Menanggapi hal
tersebut, kita telah diangkat pada kesadaran untuk ‘think green’ mempertimbangkan kembali dampak kehidupan dan tindakan
kita sehari-hari terhadap lingkungan. Perhatian pada permasalahan lingkungan
juga telah mulai merambah Hubungan Internasional. Sejak 1960-an mulai muncul
suatu kepedulian yang lebih serius terhadap lingkungan hidup, setidaknya
diantara para akademisi-akademisi di Barat. Inti dari kepedulian semacam adalah
menimbang kembali hubungan ‘manusia-alam’. Singkatnya, Green Thought menuntut perubahan-perubahan radikal dalam hal
organisasi sosio politik dan penghargaan bagi spesies non manusia. Selama ini,
teori-teori yang ada dalam HI hanya membahas dari segi antroposentris yakni
pendekatan yang menjadikan manusia sebagai fokus utama dalam hubungan manusia
dengan alam (Steans, 2005:205). Thinking
green berasumsi dasar bahwa dunia sekarang sedang mengalami permasalan
lingkungan hidup yang mengancam kelestarian umat manusia, dan karena skalanya
yang sudah mencapai tingkat global, maka permasalahan-permasalahan tersebut
hanya bisa diselesaikan dengan kerjasama melalui insitutsi-institusi
internasional (Steans et.al, 2005:210). Sedangkan green thought merupakan implementasi dari thinking greenyang memberikan landasan konstruktif dari Green Theory terhadap disiplin HI.
Asumsi pertama dari green thought
adalah bahwa green theory lebih
menekankan global over the international,
yakni diperlukannya sentralisasi pengendalian politik global agar dapat
mengamankan manajemen ekosistem global. Bahkan, kaum yang lebih radikal
beranggapan bahwa untuk menjaga kelestarian alam, tatanan konvensional hubungan
internasional yang berdasarkan negara harus ditinggalkan (Jackson dan Sorensen,
1999:330). Kedua, Green Theory
berangkat dari pemahaman implisit bahwa berbagai praktik yang dilakukan manusia
sudah tidak lagi sejalan dengan non human
world. Ketiga, Green theory
menekankan bahwa praktik manusia di zaman modern yang menganut paham
antroposentris merupakan penyebab utama krisis lingkungan hidup (Steans et.al,
2005:217). Weber (2005:193) menjelaskan bahwa struktur politik global
seharusnya lebih bersifat ekosentris daripada antroposentris. Hal tersebut
perlu diterapkan karena antroposentris pada dasarnya hanya menekankan pada nilai-nilai
manusia sebagai makhluk hidup dan memperjuangkan keselamatan manusia. Dalam
ekosentrisme lebih ditekankan pentingnya nilai-nilai ekosistem secara
keseluruhan, sehingga praktik politik internasional yang berbasis
ekosentris akan lebih memperhatikan segala bentuk kehidupan.
Dimensi
internasional mengenai lingkungan hidup telah muncul ke permukaan depan sejak
awal 1970an. Saat itu Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia yang
berlangsung di Stockholm secara eksplisit menghubungkan tema lingkungan hidup
dan pembangunan untuk kali pertama. Sejak itu, lingkungan hidup telah dianggap
sebagai manifestasi lain dari interdependensi (saling ketergantungan) dalam
hubungan internasional dan sebuah sebab perlunya negara-negara terlibat dalam
kerjasama untuk ‘menyelesaikan’ masalah. Secara sederhana, pesan dari
Konferensi Stockholm adalah bahwa negara-negara yang makin kaya (atau tetap
miskin) tetap bisa memiliki konsekuensi-konsekuensi lingkungan hidup. Hal ini
sangat mendorong diadakannya diskusi di antara para sarjana Hubungan Internasional.
Sumber
:
Jackson,
Robert dan Georg Sorensen. (1999). Introduction
to International Relations. Oxford University Presss.
Steans
& Pettiford.(2009).Hubungan
Internasional: Perkspektif dan Tema.Pustaka Belajar. Yogyakarta.